Oleh Apri Habeahan
Mahasiswa
Teknologi Pertanian Universitas Andalas
Miris!
Itulah yang saya rasakan ketika melihat banjir bandang (galodo) menghantam rumah, langgar (musala), dan lahan persawahan warga
yang berada di kawasan Limau Manis-Padang tidak jauh dari tempat saya tinggal.
Tidak lama setelah itu, banjir yang disertai longsor kembali menghantam rumah
dan lahan persawahan warga di kawasan sungai Batu Busuak Kota Padang. Tidak
hanya rumah dan lahan persawahan saja yang diporak-porandakan tetapi nyawa
manusia juga.
Kini,
giliran Lembah Anai yang terancam galodo.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat (BPDB Sumbar) telah
menganjurkan adanya pembersihan tumpukan kayu yang ada di kawasan Lembah Anai. Ketika menyampaikan peringatan tersebut,
Manajer Pusdalops BPDB Sumbar, Ade Edward mengatakan: “Mungkin tak perlu
berdebat dari mana kayu itu, illegal
logging atau aktivitas lainnya. Yang penting sekarang, segera membersihkan
aliran sungai dari tumpukan kayu-kayu besar tersebut”, sebagaimana dimuat dalam
harian Padang Ekspres (Selasa, 16/10/2012)
Saya
tertegun dengan pernyataan Manajer Pusdalops BPDB di atas, terbersit kesan
putus asa dari pernyataan tersebut. Sebegitu putus asanyakah lembaga ini melihat
tindakan yang sangat lamban dalam pencegahan bencana banjir yang kian
merajalela? Memang, penanggulangan akan semakin berat jika pencegahan tidaks ecepatnya
dilakukan!
Masalah
galodo tentu menjadi perhatian
seluruh masyarakat, khususnya para sarjana teknologi pertanian. Terlebih lagi,
melihat Limau Manis yang terletak di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kuranji
yang berdampingan dengan Unand tidak berhenti melahirkan para Sarjana Teknologi
Pertanian tiap kali wisuda. Lahirnya para Sarjana Teknologi Pertanian ini
tentunya berbanding lurus dengan banyaknya penelitian yang diwajibkan sebagai
salah satu syarat wisuda dan dibukukan menjadi skripsi.
Beberapa
kali saya mengikuti seminar hasil senior, begitu banyak penelitian yang
membahas tentang penyebab terjadinya galodo
dan upaya yang bisa dilakukan. Yang menjadi pertanyaannya adalah: dimana para
Sarjana Teknologi Pertanian tersebut? Apakah penelitian yang dilakukan para
sarjana teknologi pertanian hanya sekadar syarat wisuda? Apakah ilmu yang
didapatkan semasa kuliah hanya untuk bekerja di bank atau pekerjaan lainnya
yang melenceng dari teknologi pertanian? Apakah masalah yang kita temui saat melakukan
penelitian tidak sedikit menggugah hati ambil bagian mengatasi masalah yang
kian merajalela khususnya galodo? Atau masalah seperti pembalakan
liar (illegal logging) terlalu berat
untuk kita hadapi?
Saya
selalu mengingat perkataan seorang dosen ketika beliau kurang setuju dengan
penelitian yang berhubungan dengan kualitas air. Dengan wajah bisa dibilang mencemeeh,
beliau berkata begini: “itu mah penelitian
salamah-lamahiman”. Artinya, penelitian tentang kualitas air terlalu mudah
untuk seorang sarjana teknologi pertanian. Padahal masalah kualitas air seperti
pencemaran oleh pabrik industri, pencemaran dari pemukiman dll, semakin
merajalela. Dengan masalah kualitas air yang semakin marak, tidak seharusnya
beliau berkata demikian.
Di
satu sisi, pernyataan ini dapat mendorong para mahasiswa teknologi pertanian menghasilkan
solusi dari masalah-masalah yang lebih berat. Namun di sisi lain, pernyataan
ini hanya mengundang tanya dalam hati. Apakah ringan-beratnya penelitian itu
yang terpenting? Memang mencari solusi dari penelitian yang cukup berat
sangatlah penting. Namun apakah sebatas mencari solusi? Tidakkah lebih baik ketika
solusi dari masalah yang kecil langsung diaplikasikan di lapangan?
Aplikasi
yang kurang, itulah yang manjadi penyebab dari minimnya kontribusi para
sarjana—khususnya Sarjana Teknologi Pertanian dalam masalah ini. Dapat dikatakan
bahwa semakin meningkatnya masalah khususnya bencana banjir saat ini bukan
karena minimnya Sumber Daya Manusia (SDM). Semakin banyaknya pemecahan masalah
dalam setiap penelitian yang dilakukan para sarjana membuktikan bahwa ketersediaan
SDM di Sumbar tidaklah kurang. Yang menjadi masalah adalah: para SDM tersebut tidak
menempatkan diri sesuai dengan kemampuan/keahlian sertai ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Dengan kata lain, mereka tidak tidak mau terjun langsung pada
bidang yang terkait dengan teknologi pertanian.
Dalam
menanggapi masalah ini, perlu adanya dorongan dan ketegasan dari kampus. Mahasiswa
sedapat mungkin didukung untuk menggeluti bidangnya masing-masing ketika sudah
menjadi alumni, tidak terkecuali mahasiswa teknologi pertanian. Saya teringat masa
Hari Orienstasi MahasiswaTeknologi Pertanian (Agritech Orientation Day) yang diadakan untuk memperkenalkan Fakultas
Teknologi Pertanian (Fateta) kepada kami mahasiswa baru. Acara ini bagus! Namun
yang tidak bisa diterima ketika salah seorang senior yang ikut ambil bagian
dalam kepanitiaan berkata begini: “ Asal
kawan-kawan tau, kampus ini tidak hanya tempat menimba ilmu. Yang paling
penting kawan-kawan ketahui bahwa kampus ini adalah tempat kita mengembangkan
diri. Belum tentu kawan-kawan bekerja sesuai dengan jurusan kawan-kawan saat ini.”
Seharusnya acara ini dapat digunakan semaksimal mungkin untuk menyadarkan para
masiswa baru bahwa jurusan ini penting!
Pernyataan
di atas memang benar bahwa kampus dapat menjadi tempat pengembangan diri. Namun
sering kali hanya menjadi “modal” bagi mahasiswa untuk tidak terlalu serius dalam
perkuliahan. Banyak mahasiswa yang lebih mengutamakan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) ketimbang kuliahnya. Saya tidak sedang mengatakan bahwa aktif dalam UKM
itu salah. Memang UKM sangatlah diperlukan. UKM dapat membentuk kepribadian dan
kepemimpinan mahasiswa. Namun UKM jangan sampai menjadi penghalang bagi
mahasiswa untuk semakin mencintai apa yang sudah menjadi jurusannya di kampus.
Dengan
mencintai jurusan kita, keinginan untuk terlibat ke dalamnya setelah alumni
akan semakin besar. Ketika kita mendapat gelar Sarjana Teknologi Pertanian
(STP), seharusnya dengan semangat yang besar kita menumpahkan ilmu yang diperoleh
kepada masalah-masalah yang terjadi saat ini—khusunya masalah galodo. Semoga tidak lagi menjadi hal
yang dibangga-banggakan ketika seorang Sarjana Teknologi Pertanian diterima di
bank atau pekerjaan-pekerjaan. Tapi pandanglah bahwa itu menunjukkan ketidakpedulian
kita terhadap masalah yang sesuai dengan bidang kita—Teknologi Pertanian.
Bangkitlah para sarjana teknologi pertanian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar